Pages

Rabu, 25 April 2018

Beda Pendapat Nihil Permusuhan

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ta’ala berkata:

“Permasalahan perselisihan pendapat yang terjadi pada para imam ilmu ushul (prinsip) dan furu (cabang), tidak akan berhasil mengungkap al-haq jika mereka tidak mengembalikan segala persoalan pada Allah dan Rasul-Nya. Bila mereka tidak mengembalikan perselihan pendapat itu pada Allah dan Rasul, yang terjadi hanyalah perselisihan yang tidak mampu menampakkan kebenaran. Adalah rahmat Allah, masing-masing menetapkan suatu pendapat yang berbeda tetapi tidak terjadi permusuhan antar imam  sebagaimana terjadi di zaman khilafah Umar dan Utsman radhiyallahu anhuma

Saat itu mereka berselisih dalam beberapa masalah ijtihadi dan masing-masing memiliki argumen tetapi nihil permusuhan di antara mereka. Jika Allah tidak merahmati mereka, akan terjadi perselisihan tercela yang membuat mereka saling bermusuhan. Bisa permusuhan yang muncul dari ucapan seperti mengkafirkan dan menuduh orang lain fasik atau dengan perbuatan seperti penangkapan, penyerangan dan pembunuhan. Semua ini merupakan perbuatan ahlu bid’ah, orang-orang zhalim, prinsip khawarij dan semisalnya. Mereka melalimi (menganiaya) umat dan memusuhinya jika terjadi perselisihan dalam beberapa masalah dien.” (Majmu Fatawa 17/311)

Kalimat Syeikhul Islam mengandung dua level ijtihad dan penelitian ilmiah.

Pertama:

Ijtihad dan penelitian ilmiah untuk mengaplikasikan hidayah pemahaman yang sempurna tentang Allah ta’ala dan Rasul-Nya shalallahu alaihi wa sallam. Aplikasi pemahaman yang sempurna tentang Allah dan Rasul shalallahu alaihi wa sallam menghasilkan kesepakatan hati para mujtahid untuk bersama-sama mengikat kesepakatan ilmu. Biasanya ini terjadi antara para imam ahlu sunnah dalam bab-bab besar yang menghasilkan keputusan sepakat pada persoalan tersebut. Kesepakatan argumen mereka bersumber dari penelitian pada dalil-dalil yang jelas.

Terkadang terjadi beberapa tingkat perselisihan pendapat dan syariat mengizinkannya. Dalam beberapa masalah perbedaan pendapat syariat tidak menetapkannya sebagai perbuatan dosa. Malahan, perselisihan tersebut ditetapkan sebagai pahala ijtihad dan jerih payah pencarian al-haq. Banyak sebab mengapa terjadi perselisihan pendapat dalam memahami wahyu.

Sesungguhnya nash-nash itu muncul karena sebab yang beragam, perbedaan kondisi dan berlaku untuk seluruh makhluk. Tetapi menghukumi sesuatu dari nash-nash tersebut perlu kecermatan dan penelitian lahiriyah redaksi dalil dan sesutau dibalik dalil tersebut. Dari itu masing-masing ulama dalam memahami satu dalil kadang berbeda-beda dan ini sudah maklum.

Tingkatan ini disebut dengan tataran ilmu, yaitu tentang bagaimana kerja kerasnya melakukan penelitian dan pencarian al-haq. Efek dari usaha itu terjadilah perbedaan pendapat dan perselisihan di kalangan manusia.

Perhatikan perkataan syeikh rahimahullah:

“Adalah rahmat Allah, masing-masing menetapkan suatu pendapat yang berbeda tetapi tidak terjadi permusuhan antar imam.”

Kemudian perkataan beliau:

“Jika Allah tidak merahmati mereka, akan terjadi perselisihan tercela yang membuat mereka saling bermusuhan.”

Kedua:

Tingkatan hati saat bersentuhan dengan perselisihan ilmiah atau tingkatan takwa dalam menghadapi perselisihan tersebut. Ini adalah tingkatan keikhlasan serta tidak memiliki sifat sombong dan permusuhan.

Seorang mujtahid tatkala berijtihad dalam hatinya meyakini bahwa pendapatnya berada di atas al-haq, atau dia paling dekat dengan kebenaran. Namun bersamaan dengan itu ia juga mengerti keyakinan atas kebenarannya tersebut mengandung potensi perselisihan pendapat. Pengertiannya ini timbul karena dia mumpuni dalam seni fikih, penelitian ilmiah dan ijtihad.

Sedangkan muqolid (orang yang ikut-ikutan) yang mengaku sebagai mujtahid tidak memiliki pengalaman dalam jiwanya bagaimana memanajemen benturan pendapat terhadap persoalan ilmiah yang ia hadapi. Sebab itu ia merasa pendapatnya paling benar seperti anak kecil yang hanya menganggap benar pesan ayahnya. Menurutnya perkataan ayah adalah kebenaran penuh sedangkan perkataan orang lain batil seperti batilnya syirik dan kekufuran. Inilah pemetik pelampauan batas dan kelaliman. Orang bodoh adalah yang memproduksi keyakinan palsu yang dibangun di atas taqlid (ikut-ikutan tanpa mengetahui sumber atau alasannya) kemudian mengemasnya sebagai produk ijtihad.

Ilmu itu pencetak hati dan orang-orang yang berakal mereka adalah yang mengetahui tingkatan-tingkatan dalil. Mereka memiliki kaidah: Jangan kamu menulis semua perkataanku, karena kadang hari ini aku berkata demikian besok aku menyelisihi perkataanku kemarin.

Dia terlebih dahulu menguzhur dirinya sendiri sebelum mengudzur orang yang menyelisih pendapatnya. Dia mengetahui kondisi orang lain setelah berkaca dari dirinya sendiri.
Orang yang kekanak-kanakan dan bodoh adalah orang yang menetapkan suatu pendapat meskipun potensi keshahihannya sedikit padahal ada pendapat lain yang lebih shahih, sayangnya dia tidak bisa memahami problemnya tersebut. Kemudian dengan pendapatnya itu dia melakukan pelampauan batas, kelaliman dan ekstrimisme. Akhirnya orang tersebut terjerumus dalam arus sifat khawarij dalam bab ini dengan orang yang menyelisihinya, sejurus kemudian dia mengkafirkannya, memfasikannya atau mengkarantinanya.

Perbedaan pendapat merupakan fakta yang Allah takdirkan, syariat telah menetapkan adanya perbedaan pendapat. Maka untuk menyikapi perbedaan pendapat harus dengan metode yang rahmat dan saling menghargai dan mujtahid diberikan pahala meskipun salah. Meskipun terjadi perselisihan pendapat, syariat yang agung ini tidak membuka pintu apapun yang bisa menjadi sumber  kelaliman bagi orang yang menyelisihi sampai keluar dari batasan sikap hikmah. Tetapi kewajiban dia untuk menengok pendapat yang menyelisihinya. Agar bisa merubah pendapatnya dan mengikuti pendapat yang menyelisihinya jika ditemukan kesalahan dalam pendapatnya pribadi. Atau jika pendapatnya memang lebih kuat, dia bisa menguzhur pendapat orang lain. Bahkan lebih baik, prinsip pertama adalah menyangka pendapat orang lain lebih benar agar bisa mencintai mereka yang berselisih pendapat dan selalu mendoakan kebaikan baginya.

Problematika orang-orang yang lalim, yang melampaui batas dan memiliki sifat khawarij, sedikit atau banyak timbulnya dari  internal dalam dirinya sendiri. Jika berselisih dia gagal paham hakikat perselisihan, gagal paham definisi ilmu dan sarana memperolehnya. Penyebabnya, dia selalu menyangka lawannya selalu dalam kebohongan, hasilnya dia menjadi sombong di muka bumi. Akhirnya  prinsip kebencian pada orang yang menyelisih Rasul shalallahu alaihi wa sallam diseret untuk benci dan memusuhi orang yang menyelisihi pendapatnya.

Telah terjadi perselisihan pendapat di kalangan manusia yang paling paham dien ini yaitu para sahabat. Orang-orang alim wajib memahami bahwa perselisihan setelah generasi sahabat lebih hebat dan dahsyat. Maka wajib bagi kita untuk memperluas dan melonggarkan prinsip mengudzhur. Kamu tidak boleh dengan pandangan bahwa ilmu hari ini telah tersebar luas sehingga menetapkan hari ini tidak boleh berselisih. Orang yang punya pendapat seperti ini hanya orang bodoh jahil murakab (bodoh kuadrat). Dia tidak memiliki pemahaman syariat dan kemampuan untuk mencapai kedudukan ulama peneliti.

Perkataan Syeikh ini membuatku mengurai air mata. Kaidah penting sebagai manual bagi hati dan jiwa. Anugerah Rabbani yang Allah celupkan dalam hati para ulama dan manusia sebagai bentuk rahmat Allah, tatkala Rabb kita mengetahui dalam hati meraka kecintaan pada kebaikan dan kemaslahatan. Jika bukan sebagai rahmat, maka perselisihan itu tercela.

Jangan ikut-ikutan dalam arus perselisihan seseorang dengan sahabatnya yang sedang perang cela-mencela. Jika nekat bisa jatuh dalam medan permusuhan seperti ayam sabung, membongkar aurat orang lain dan membicarakan kejelekannya. Terlebih jika diantara mereka terdapat sejarah persahabatan ke-ikhwanan. Pada saat itu kamu akan melihat keajaiban dari keajaiban pengharaman rahmat Allah yang Allah haramkan pada mereka.

Jika kamu amati di zaman kita ini, kamu akan temukan orang-orang yang saling hasad, saling membunuh, saling mecaci-maki ternyata memiliki manhaj dan pemikiran perjuangan yang sama, mereka diuji dalam masalah yang sama. Setan melakukan talbis (manipulasi) ucapan dan perkataan sehingga terjadilah perselisihan. Lalu bagaimana jika manhaj dan pemikiran itu berbeda seperti yang sekarang banyak terjadi? Pastilah perselisihan tersebut lebih dahsyat.

Setelah semua ini, muncul orang jahil bukan karena sebab yang telah saya sebutkan di atas, tetapi akibat hawa nafsu. Si jahil ini mengangkat panji komando untuk mengasingkan saudaranya yang beda pendapat dan mengklaim tindakannya merupakan perintah Allah. Demi Allah dia dusta. Dia mengasingkan saudaranya untuk meninggikan kedudukan dan posisi jabatannya sendiri. padahal pengasingannya pada saudaranya hanya karena saudaranya menyelisihi pendapatnya pribadi, pendapat jamaahnya, pendapat syeikh-syeikhnya atau imam-imamnya.

Perhatikan dengan seksama!

Penulis: Syeikh Abu Qatadah Al-Falestini - Umar Mahmud Abu Umar - hafizhahullah
Alih Bahasa: Zen Ibrahim 
Editor: Ukhti Fani
1 Syaban 1439 / 10 April 2018

Sumber terjemahan: Channel Resmi Syeikh Abu Qatadah https://t.me/ShAbuQatadah2

Artikel ini tersedia dalam berbagai format yang bisa di unduh gratis di halaman download.


Ikuti update project penerjemahan kami di Pustaka Qolbun Salim.
Fanspage https://www.facebook.com/pustakaqolbunsalim
Channel Telegram @pustakaqolbunsalim https://t.me/pustakaqolbunsalim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar